Minggu, 12 Juli 2009

Buet-buet Soet Sabe

Hai nyak, bek kapeged buet-buet soed sabe. Pue hana bud laen?”, tentunya sering orang tua kita mengatakan demikian. Kalimat tersebut terucap ketika mereka kesal melihat hal-hal yang sangat biasa kita lakukan dan cendrung itu-itu saja. Baik dalam hal kecil dan sepele hingga hal yang rumit. Biasanya kita larut dalam perihal tersebut hingga tak sadar kalau kita telah berulang kali melakukan hal itu-itu saja tanpa memberikan manfaat yang berarti dari apa yang kita lakukan. Lebih menyedihkan lagi jika hal itu dilakukan dengan sadar.

Entah apa yang kita pikirkan saat ini? Adakah sebuah kenikmatan dalam hal tersebut atau memang itu-itu saja yang wajib kita lakukan selama ini? buet-buet soed sabe sepertinya sudah menjadi keseharian kita selama ini. Dari penyelenggaraan syariat islam, rekontruksi dan rehabilitasi Aceh dan Nias, hingga penyelenggaraan layanan publik oleh pemerintah.

Saat ini sepertinya kita hampir mirip dengan kerbau. Bukan dari bentuk tubuh ataupun bau tapi dari segi tingkah laku dan pemanfaatannya. Di pabrik batu-bata tradisional contohnya, kerbau digunakan untuk menginjak-injak tanah liat agar adonannya baik digunakan untuk batu-bata dan akhirnya sang majikan mendapatkan keuntungan dari pekerjaan si kerbau. Kalau saja sang kerbau di buka matanya saat bekerja dan diberi kelebihan oleh Tuhan untuk berfikir maka ia akan berontak karena merasa pening mengitari satu titik dan itu-itu saja.

Dulu sering kita mendengar kalau bangunan yang akan dibangun di Aceh akan tahan gempa. Nyatanya, sering pula kita menonton dan membaca berita kalau masyarakat banyak yang kecewa karena rumah yang dibangun retak-retak. Baik sebelum dihuni maupun setelahnya. Disebagian daerah lebih menyedihkan lagi, rumah-rumah bantuan yang dibangun terbengkalai karena kontaraktor berotak kotor kabur dari kewajibannya.

Musibah gempa sudah menjadi rutinitas yang terjadi di Aceh, tentunya para ahli sepakat dengan hal itu karena Aceh terletak pada lempeng bumi yang amat mudah bergerak, dan juga kita masyarakat Aceh yang sering merasakannya. Bukankah ini buet-buet soed sabe ketika rumah masyarakat di kabupaten Simelu harus di bangun kembali karena telah rusak akibat gempa baru-baru ini?

Tak salah jika kita harus membangun kembali, toh kita menikmatinya bukan? Banyak pihak yang akan di untungkan dari setiap musibah di Aceh, pihak penyelenggara, kontraktor, hingga masyarakat yang mendapat pekerjaan dari Rehabilitasi dan Rekontruksi itu. Namun sangat disayangkan, masyarakat yang seharusnya kita bantu hanya menjadi sebuah objek program-program yang kita laksanakan selama ini. Tak jarang hak-hak mereka terabaikan bukan?

Sungguh menyedihkan ketika sebuah pernyataan dari seorang pejabat: rumah yang di bangun di Aceh akan tahan gempa dengan kekuatan 6,3 sekala richter. Padahal mereka tahu kalau gempa yang terjadi di Aceh bisa lebih dari itu. Pertanyaan soed kembali timbul di dalam benak kita tentunya. Apakah rumah yang akan di bangun di Simelue nanti dengan kekuatan yang sama atau dibawahnya? Kalau benar demikian maka Rehabilitasi dan Rekontruksi di Aceh tak akan pernah berakhir karena kita berada pada zona yang amat rawan gempa. Lagi-lagi buet-buet soed sabe bukan?

Tidak mengherankan jika mahasiswa dan masyarakat berdemontrasi. Demontrasi bukan sebuah hobi bagi mereka namun sebuah jeritan hati yang di keluarkan lewat aksi ketika kita menutup mata dan hati. Tak mengherankan jika sesekali berbuntut pada anarkisme seperti pada kasus pembakaran rumah bantuan beberapa waktu lalu. Bukan berarti saya membenarkan perbuatan anarkisme tersebut namun bisakah kita dan bapak ibu sebagai orang tua kami yang diberi amanah bertanya? Kenapa mereka melakukannya? Dan bisakah ini kita hindari di masa yang akan datang.

Dana rekontruksi dan rehabilitasi Aceh dan Nias yang jumlahnya trilyunan rupiah serta sejumlah dana besar yang dimiliki Pemerintahan Aceh seharusnya sudah dapat mensejahtrakan masyarakat di Aceh pasca musibah tsunami dan konflik. Bukan hanya membangun rumah yang soed-soed lom, membangun jalan Medan-Banda Aceh yang berulang-ulang, dan pemberdayaan masyarakat sepanjang abad.

Bukannya memberdayakan masyarakat tapi nyatanya mereka yang dititipkan amanah malah memperdaya masyarakat kita. Sebut saja kasus bantuan sapi untuk masyarakat di kabupaten Aceh Tengah. Masyarakat di perdaya dengan uang Rp 50.000,00 dengan imbalan sapi-sapi mereka harus menjadi model berpose di laporan para pemimpin kita. Padahal dalam program tersebut masyarakat diberdayakan dengan pembagian bibit sapi untuk meningkatkan ekonomi mereka. Syukur kasus ini segera di ketahui dan di usut. Mudah-mudahan segera tuntas dan masyarakat yang seharusnya di berdayakan yang kemudian diperdaya mendapat keadilan. Sangat banyak program pemberdayaan masyarakat yang di lakukan pemerintah dan LSM atau NGO di Aceh namun pada kenyataannya, sangat banyak yang tidak tepat sasaran atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.

Buet-buet soed sabe juga bisa kita lihat pada realita pembangunan jalan di Indonesia, khususnya di Aceh. Tak dapat dipungkiri kalau perbaikan jalan di Aceh seperti kita berobat menambal gigi tempo dulu. Sesudah di tambal, kembali akan meradang kesakitan dikemudian hari. Lihat saja realita perbaikan jalan di bukit seulawah yang di lakukan sepanjang tahun. Setelah dibuat mulus namun beberapa bulan kemudian jalan tersebut sudah compang-camping disana sini. Kemudian kembali di tambal sepanjang tahun. Hal ini tidak terjadi di jalan Medan-Banda Aceh di bukit Seulawah namun hampir di seluruh jalan di Aceh. Lagi-lagi buet-buet soed sabe bukan? Kalau saja jalan-jalan soed kita bangun lebih baik dengan keichlasan maka jalan-jalan di gampoeng tidak akan seperti jalan babi yang kami lalui selama ini.

Pertanian adalah tulang punggung perekonomian masyarakat Aceh selama ini. Dan area pertanian terletak di gampoeng-gampong. Namun sepertinya pemerintah abai terhadap keberadaan gampoeng dan aktifitas ekonomi mereka. Bagaimana coklat, kopi, sawait, karet, dan komoditas lainnya akan menyejahtrakan masyarakat Aceh kalau harganya murah cuma karena masalah transportasi yang tak bisa lewat di jalan babi? Padahal komoditas pertanian di Aceh punya harga yang amat baik dan mampu menyejahtrakan rakyatnya. Namun teriakan petani Aceh masih terdengar di sana-sini.

PLN dan PAM juga tak ketinggalan melakukan buet-buet soed sabe. Pelayanan listrik dan air minum yang memuaskan sepertinya hanya buaiyan janji belaka. Mulai pemadaman bergilir oleh PLN hingga pemadaman yang tak beraturan lagi. Ancaman denda dan penghentian layanan listrik dan air kepada konsumen acap kali kita dengar kalau mereka telat membayar tunggakannya. Namun pernahkan PLN dan PAM memenuhu kewajibannya kepada konsumen.

Pari alim dan ulama berpendapat jika iman kita tipis maka kita kurang terkendali. Dan tentunya kita sependapat dengan hal itu. Di sisi lain, lemahnya hukum menjadi hal yang asyik untuk melakukan buet-buet soed sabe. Salah satu solusi buet-buet soed sabe adalah memperketat hukum yang ada agar buet-buet soed sabe di kemudian hari tak berulang. Mudah-mudahan saja buet-buet soed sabe tak berulang lagi di masa akan datang.

By ; Safrizal Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar